JOGJAEKSPRES.COM – Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyoroti fenomena kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang terjadi di sejumlah daerah.
Ia menilai, pemerintah pusat perlu merespons serius agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menurut Khozin, kenaikan PBB-P2 kerap ditempuh kepala daerah sebagai upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Namun, kebijakan tersebut memunculkan masalah baru akibat lonjakan tarif yang terlampau tinggi.
“Kenaikan PBB-P2 sebagai ikhtiar untuk menaikkan PAD di masing-masing daerah untuk kepentingan belanja di daerah,” ujar Khozin kepada Parlementaria di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
BACA JUGA: Legislator Kritik Usulan Peningkatan Pajak Rumah Tapak: Bisa Picu Krisis Hunian
Ia menjelaskan, kenaikan fantastis PBB-P2 di sejumlah daerah juga dipicu penundaan penyesuaian tarif selama bertahun-tahun. Akibatnya, saat kebijakan baru diberlakukan, lonjakan tarif menjadi sangat tinggi.
Selain itu, lonjakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang didasarkan pada penilaian tim appraisal yang kerap tidak sesuai kenyataan di lapangan.
“Jadi pemicunya cukup beragam di tiap-tiap daerah,” tambahnya.
Khozin menegaskan, kenaikan PBB-P2 juga tidak lepas dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Dalam beleid tersebut, batas maksimum tarif PBB-P2 diubah dari 0,3 persen menjadi 0,5 persen.
BACA JUGA: Kemenkeu Perlu Terobosan Lain Tingkatkan Pemasukan Negara Selain Pajak
“Pemda memiliki ruang lebih besar untuk menaikkan tarif jika dipandang perlu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Khozin mengingatkan bahwa UU HKPD juga mengatur soal Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yakni minimal 20 persen hingga maksimal 100 persen dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
Ketentuan ini memberikan ruang bagi pemda menaikkan persentase pengenaan NJKP lebih luas sehingga PBB-P2 berpotensi meningkat signifikan.
Politisi PKB itu menambahkan, kenaikan PBB-P2 juga menjadi motivasi bagi pemda karena berkaitan dengan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat.
BACA JUGA: Fraksi P-Gerindra Nilai RAPBN 2026 Instrumen Kunci Wujudkan Asta Cita
Sesuai Pasal 120 UU HKPD, komposisi alokasi DBH ditentukan 90 persen berdasarkan proporsi bagi hasil dan status daerah penghasil serta 10 persen berdasarkan kinerja pemerintah daerah.
“Kalau penerimaan di daerah meningkat termasuk sektor produktif (termasuk PBB-P2), maka daerah tersebut berpotensi memperoleh DBH lebih besar di tahun berikutnya,” kata Khozin.
Di sisi lain, Khozin menilai fenomena kenaikan PBB-P2 tidak terlepas dari beban keuangan daerah. Karena itu, Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri tengah merumuskan formula untuk menata pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai langkah memperkuat penerimaan daerah.
“Poin itu menjadi pangkal persoalan. Makanya, sejak awal tahun ini, Komisi II DPR dan Mendagri secara intensif membahas perbaikan tata kelola BUMD di daerah sebagai ikhtiar memperkuat pendapatan,” ungkapnya.
BACA JUGA: Sampaikan 8 Agenda Prioritas RAPBN 2026, Presiden Bertekad Hapus Defisit Anggaran Maksimal di 2028
Ia menambahkan, salah satu opsi yang muncul adalah pembentukan undang-undang khusus tata kelola BUMD sebagai sumber baru bagi penerimaan daerah.
“Opsi yang muncul di antaranya membentuk UU khusus tata kelola BUMD yang dimaksudkan sebagai sumber bagi penerimaan daerah,” pungkas Khozin. (*)
Dapatkan berita menarik lainnya dengan mengikuti saluran kami