JOGJAEKSPRES.COM – Kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyuarakan keprihatinan serius terhadap arah kebijakan kesehatan nasional yang dinilai mengancam keselamatan pasien dan melemahkan mutu pendidikan kedokteran.
Dalam seruan publik bertajuk “Suara Keprihatinan Bulaksumur” yang diterima di Yogyakarta, Minggu (1/6/2025), mereka mengingatkan bahwa keselamatan pasien adalah fondasi utama sistem layanan kesehatan dan tidak boleh dikompromikan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada mutu.
Pernyataan tersebut menyebut bahwa ketika keselamatan pasien tidak dijadikan prioritas utama, yang terancam bukan hanya kehidupan individu, tetapi juga kualitas hidup masyarakat dan kepercayaan publik terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional, karena mutu pelayanan yang tinggi hanya dapat dicapai melalui pendidikan tenaga medis yang profesional, etis, dan ilmiah.
Dukungan terhadap gerakan tersebut bergulir melalui kegiatan Webinar Bulaksumur pada 19 Mei dan aksi Bulaksumur Bergerak Serentak pada 20 Mei 2025 yang gerakan tersebut mendapat respons luas dari berbagai perguruan tinggi kedokteran di Indonesia, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Lambung Mangkurat.
Dalam pernyataan tersebut, para akademisi menyampaikan sejumlah poin krusial.
Pertama, kerentanan perlindungan hukum bagi tenaga medis, di mana mutasi, pemutusan kontrak kerja, dan pencabutan STR/SIP dilakukan secara sepihak tanpa prosedur etik dan hukum sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 3 Tahun 2025 yang menciptakan ketakutan di kalangan profesional kesehatan dan melemahkan otonomi profesi dokter.
Kedua, persoalan kesenjangan distribusi tenaga medis di Indonesia, khususnya di wilayah timur, dinilai tidak dapat diatasi hanya dengan membuka fakultas kedokteran baru.
Tanpa disertai peningkatan mutu pendidikan dan pengaturan distribusi yang jelas, penambahan kuota justru berpotensi memperlebar ketimpangan akses layanan kesehatan.
Ketiga, terjadi penurunan kualitas pendidikan akibat mutasi dosen klinis dan penutupan program studi spesialis secara sepihak.
Mutasi dosen yang memiliki kompetensi klinis tinggi tanpa proses yang transparan mengganggu kesinambungan pendidikan dan berisiko menurunkan mutu lulusan dokter di masa depan.
Keempat, hilangnya kepercayaan antara pasien dan dokter akibat mutasi serta penghentian kerja sama yang tidak sesuai prosedur.
Relasi dokter-pasien yang dibangun bertahun-tahun tidak bisa digantikan dengan sistem yang berpola administratif tanpa mempertimbangkan dimensi kemanusiaan dan profesionalisme.
Para akademisi menekankan bahwa isu tersebut bukan hanya menyangkut profesi dokter, tetapi menyangkut hak rakyat atas layanan kesehatan yang aman, adil, dan bermutu.
Mereka mendesak adanya koreksi terhadap kebijakan kesehatan nasional yang dinilai tidak selaras dengan prinsip keselamatan publik, keadilan sistemik, dan keberlanjutan pendidikan kedokteran.
Dalam seruan tersebut, mereka mengingatkan jika tidak segera diperbaiki, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan membawa konsekuensi serius berupa merosotnya mutu pelayanan dan pendidikan kesehatan Indonesia dalam jangka panjang. (*)
Dapatkan berita menarik lainnya dengan mengikuti saluran kami