JOGJAEKSPRES.COM – Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta Pemerintah untuk meningkatkan program edukasi dan sosialisasi untuk masyarakat mengenai penyakit cacar monyet (MonkeyPox/Mpox). Ia juga menekankan pentingnya meningkatkan kapasitas tenaga dan fasilitas kesehatan hingga ke pelosok negeri.
“Perlu ditingkatkan juga pelatihan kepada tenaga kesehatan sehingga semua nakes sudah paham betul cara mendeteksi, menangani, dan melaporkan kasus Mpox dengan cepat dan tepat,”ujar Rahmad Handoyo dalam rilisnya di Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Rahmad juga mendorong Pemerintah untuk membuat langkah khusus untuk penanganan apabila suspek atau pasien positif Mpox adalah anak-anak. Sebab penanganan pada pasien anak berbeda dengan pasien umum dewasa, terlihat saat pandemi Covid-19 lalu.
“Ini ibu-ibu banyak yang takut dan khawatir anak-anak mereka kena Mpox. Karena kalau anak yang kena kan butuh pendampingan orang tua atau orang dewasa, sementara Mpox ini sangat menular, bahkan hanya dengan sentuhan saja seperti kejadian di Afrika,” kata Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mengungkap, sedikitnya 8.772 anak tertular Mpox di Republik Demokratik Kongo (DRC), pusat terjadinya wabah Mpox di Afrika. Jumlah itu lebih dari setengah total kasus yang dilaporkan di DRC. Selain itu, 80 persen kematian akibat Mpox di DRC juga terjadi pada anak-anak.
Di Burundi, negara tetangga DRC, tercatat hampir 60 persen kasus Mpox terjadi pada anak dan remaja di bawah usia 20 tahun. Sebesar 21 persen dari kasus Mpox pada anak berusia di bawah 5 tahun. Kasus Mpox pada anak-anak juga dilaporkan di sejumlah negara di Afrika.
Oleh karena itu, Rahmad menilai diperlukan penanganan khusus terhadap potensi pasien Mpox anak.
“Potensi Mpox pada anak ini bukan berarti pada semua anak. Ini secara khusus bagi anak-anak yang keluarganya terdapat suspek Mpox. Maka jika menjadi suspect Mpox, harus mengikuti anjuran isolasi mandiri supaya tidak menularkan kepada keluarga, terutama anak-anak,” urainya.
“Pemerintah juga harus bisa memberi kepastian dan jaminan bahwa semua faskes dan pelayanan kesehatan sudah siap dengan pengobatan maupun antisipasi penyebaran virus ini, termasuk pada anak-anak suspect Mpox yang juga harus kita lindungi,” lanjut Rahmad.
Terkait obat-obatan Mpox yang kasusnya banyak ditemukan di Afrika itu, Kemenkes sudah menyiapkan pemberian terapi simtomatis, tergantung derajat keparahan kasus. Pasien dengan gejala ringan dapat melakukan isolasi mandiri di rumah dengan pengawasan dari puskesmas setempat, sedangkan pasien dengan gejala berat harus dirawat di rumah sakit.
Mpox memiliki masa inkubasi sekitar 3 hingga 17 hari di mana gejalanya mirip seperti cacar air, namun cacar monyet memiliki bentuk luka seperti leci di mana bekas lukanya berwarna hitam dan menyebar di tubuh orang yang terpapar.
Sejumlah gejala yang dapat diperhatikan oleh masyarakat terkait Mpox ini adalah adanya ruam di tangan, kaki, dada, wajah, mulut atau di dekat alat kelamin. Selain itu pasien Mpox biasanya mengalami demam, panas dingin, pembengkakan kelenjar getah bening, kelelahan, nyeri otot dan sakit punggung, serta sakit kepala dan gejala pernafasan (misalnya sakit tenggorokan, hidung tersumbat, atau batuk).
“Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat soal Mpox dan penanganannya menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan Pemerintah. Termasuk bagaimana metode isolasi mandiri jika menjadi suspect Mpox. Masyarakat juga butuh kepastian dari Pemerintah bahwa penyakit ini bisa diobati,” ucap Rahmad. (*/rls)