JOGJAEKSPRES.COM – Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta mulai membahas sistem pembayaran untuk penerapan kebijakan retribusi pembuangan sampah di depo.
Eksekutif pun membuka peluang menerapkan pembayaran secara digital, atau sistem non tunai, guna menghindari potensi pungutan liar.
Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko, mengatakan, pembayaran secara tunai di depo cenderung riskan.
Sehingga, salah satu opsi paling memungkinkan adalah pembayaran retribusi melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
“Nanti kalau bisa kerja sama dengan BPD atau bank lain, untuk pembayaran itu. Nggak mungkin menerapkan pembayaran di depo, nanti dengan digital, non tunai, entah QRIS atau apa,” ungkapnya, Rabu (6/11/2024).
Meski demikian, Haryoko menyebut, pungutan bukanlah hal pokok dalam kebijakan itu, karena yang paling penting adalah mengedukasi masyarakat untuk konsisten memilah sampah.
Dalam artian, jika semakin banyak sampah yang dialokasikan ke depo, maka bertambah besar pula uang yang harus dikeluarkan oleh warga.
“Masyarakat kita paksa untuk mengolah sampahnya, semaksimal mungkin. Baru nanti yang tidak bisa dimanfaatkan dan harus dibuang itu hanya sedikit. Jadi, yang harus dibayar oleh masyarakat juga sedikit,” tandasnya.
Oleh sebab itu, prinsip keadilan benar-benar harus diterapkan melalui proses penimbangan di depo, untuk menghargai masyarakat yang tertib memilah dan mengelola sampahnya.
Namun, sampai sejauh ini, dirinya belum dapat memastikan terkait besaran tarif retribusi, lantaran masih dalam proses pembahasan.
“Untuk nominal masih dalam kajian. Jadi belum bisa kami sampaikan. Tapi, sudah pasti berdasarkan berat sampahnya. Nanti ada dua kategori, untuk yang sudah dipilah dan yang belum, pasti ada beda tarifnya,” terangnya.
Harapannya, dengan kebijakan tersebut, muncul tanggung jawab dari masyarakat terkait sampah yang dihasilkan dari rumah tangganya.
Bukan tanpa alasan, selama ini retribusi bulanan sampah yang dipungut dari warga cenderung sangat murah, hanya kisaran Rp3000.
“Sistem bayarnya murah, di kita cuma Rp3000 per bulan dan warga bebas mau membuang berapapun di depo kita terima. Itu yang akhirnya tidak adil dan masyarakat tidak berupaya mengurangi sampahnya, karena bebas,” katanya. (*)